Melipir ke Edensor

FF4AD542-C631-4F0C-908B-5233A41BE092

Di bawah gerimis senja dalam suhu 7 derajat yang menggigit, saya berdiri sendirian di tepi jalan sunyi, menanti bus. Petang itu tinggal dua trayek bus ke kota Sheffield, yaitu bus pukul 17.49 dan 18.03. Jika saya tak setia berdiri di halte tanpa atap ini, hanya berupa tiang dengan papan kecil berisi jadwal bus, bisa-bisa terlewat dan harus bermalam entah di mana. Tak ada hostel di sini, hanya ada cottage yang tarifnya tidak masuk dalam budget backpacker berkantong rupiah seperti saya.

Desa ini sungguh sunyi, tapi juga sangat cantik. Di hadapan saya membentang padang rumput hijau dengan pohon-pohon yang daunnya masih malu-malu bersemi, meski sudah memasuki musim semi pertengahan bulan April. Di balik hamparan bukit hijau dan pepohonan itu, tersembunyi rumah bangsawan Inggris, Duke of Devonshire. Itulah Chatsworth House, salah satu destinasi wisata yang cukup populer di Inggris. Rumah di tepi sungai Derwent yang dibangun pada abad 15 itu mengundang banyak pengunjung karena keindahan tempatnya. Rumah itu juga pernah digunakan untuk syuting film Pride and Prejudice (2005), yang diangkat dari novel klasik dengan judul sama kartya Jane Austen.

Tapi, langkah kaki saya tak terayun ke sana menyusuri pedestrian yang meliuk di punggung bukit hijau. Meski saya begitu ingin. Hanya 15 menitan berjalan, tapi saya juga harus membuat pilihan. Dalam keterbatasan waktu, saya memilih menjelajahi desa kecil di seberangnya, yang bukan merupakan destinasi wisata lokal, tapi menjadi impian para pembaca novel Andrea Hirata. Ya, itulah desa Edensor (dibaca Ensor).

Continue reading “Melipir ke Edensor”